slide to unlock

Popular Post

Selamat datang di blog saya ^_^ selamat nikmati postingan di sini. Jangan lupa berkomentar
Posted by : eka kaka Senin, 21 Oktober 2013

   Tatkala sang putri malam menggantikan sang raja siang yang telah tenggelam dengan beriringnya waktu. Seorang gadis belia yang cantik menawan duduk di bawah pohon yang telah berusia. Anggi, sebutan nama mungilnya sewaktu di SMP dulu. Dia merenungi dan meratapi nasibnya yang telah mencabik-cabik hatinya. Kejadian 3 minggu yang lalu, menyebabkan keluarganya dilahap air laut yang murka. Tak ada yang tersisa. Harta benda pun tak tersisa. Hanya puing-puing barang yang sudah tidak berharga, bekas bencana yang terjadi dan dirinya yang tersisa. Kini dia hanyalah seorang gadis cantik yang sebatangkara.

            Setelah duduk dan merenungi nasibnya yang kelam di bawah pohon yang berusia dengan ditemani hembusan angin malam yang dingin menambah suasana sepi senyap dalam keheningan malam. Gadis itu berdiri dan meninggalkan pohon tua itu dengan langkah yang tertatih-tatih tidak kuasa menahan butiran kristal yang akan segera jatuh dari kedua kelopak mata indahnya. Anggi segera menghapus kristal bening yang jatuh membasahi pipi mungilnya tanpa henti. Setelah menghapus air matanya, gadis itu menuju tempat tinggalnya yang baru melewati lorong-lorong jalan kota yang semakin ganas. Setelah kejadian yang telah membuatnya hancur, Anggi tinggal di suatu Panti Asuhan. Di Panti Asuhan itu banyak anak yang bernasib sama sepertinya. Harta benda yang dilahap air yang murka, Keluarga pun telah tiada. Hanya bisa memohon dan berdoa kepada sang Maha Pencipta. Hanya bantuan Tuhan Yang Maha Esa dan seorang dermawan yang dapat membantu menjalani kehidupan mereka yang perlu biaya dan bantuan dari orang lain karena keadaan mereka yang mengenaskan tanpa ditemani keluarga yang utuh.


            Sesampai di Panti Asuhan yang dia tempati, Anggi segera menuju ruangan yang dapat membuatnya lebih tenang dan dapat membuatnya terpejam. Dia menuju kamarnya dengan  tempat tidur yang telah usang. Anggi dapat masuk kamarnya dengan cepat karena kamarnya berada tepat di sebelah ruang tamu. Badannya sudah lusuh dan letih karena selalu memikirkan musibah yang telah menimpanya. Di kamarnya terdapat dua buah tempat tidur yang nyaman. Di ruang yang senyap itu, dia mendapati temannya yang bernama Zara telah tertidur pulas. Anggi harus berbagi kamar dengan teman SMAnya yang bernasib sama sepertinya, seorang anak yang sebatangkara. Zara adalah temannya sejak Smp hingga sekarang, Zara selalu menemani Anggi. Anggi selalu menyampaikan keluh kesahnya ketika ada masalah yang menimpa dirinya pada Zara yang merupakan sahabat lamanya itu. Ya, Anggi sekarang adalah anak SMA kelas dua yang mendapat musibah pahit di kehidupannya. Setelah kejadian yang telah menimpanya dan menyebabkan keluarganya telah tiada meninggalkan Anggi dalam kondisi tidak dapat menerima sebuah kenyataan yang pahit, Anggi masih menjalani masa sekolahnya . Anggi telah pindah sekolah, karena sekolahnya yang dulu telah terkena musibah yang telah menyebabkan sekolahnya roboh dan  dia juga kehilangan keluarganya. Anggi pindah sekolah bersama sahabatnya Zara yang biaya sekolahnya dibiayai oleh seorang dermawan yang prihatin dengan keadaannya.

            Anggi menjatuhkan tubuh letihnya di tempat tidur yang telah usang yang dapat menyangga tubuh mungilnya. Gadis itu menatap tajam langit hitam yang cantik dihiasi putri malam dengan ditemani  taburan bintang gemintang yang berkelap kelip dengan indahnya melalui jendela yang telah lapuk dimakan usia.
Gadis cantik itu masih terbayang akan kejadian yang menimpanya. Ia masih tidak mampu menghapus memori itu di ingatannya. Dimana ketika kelurganya meninggalkannya karena musibah yang menimpa keluarga gadis itu. Seketika kristal bening jatuh membasahi pipi mungilnya , meruntuhkan pertahanannya untuk tidak menangis, menangis, dan menangis lagi. Anggi menangis, kristal bening jatuh dari kedua kelopak matanya yang indah seakan dia telah kehilangan masa depan. Dia menginginkan bahagia bersama keluarganya kembali seperti dulu, yang selalu menemaninya dalam keadaan seperti apapun.

            Tanpa dia sadari, kedua mata indahnya yang lebam karena tangis yang tak pernah usai perlahan terpejam. Derai air matanya yang tak
kunjung usai kini telah pudar dan terhenti. Dia tertidur di keheningan malam yang senyap seakan dunia ini sudah tidak lagi berpenghuni. Membawa semua bayangan akan kejadian pahit yang menimpanya kedalam bunga tidurnya.

            Putri malam pun mulai mengantuk, lelah menyinari dunia yang ganas tidak memihak akan keadilan dan yang benar akan selalu salah terkalahkan oleh uang dan sang raja siang perlahan akan menampakkan wajahnya yang berseri seri tanpa malu-malu siap menyinari dunia menunggu suara adzan yang berkumandang yang indah bermaksud untuk memanggil umat yang telah tersadarkan agar memohon ampun dan berdoa kepada sang Maha Pencipta.
Untaian suara adzan indah masjid di sekitar Panti asuhan berkumandang dengan jelas, karena panti asuhan yang merupakan tempat tinggal gadis itu letaknya berdekatan dengan sebuah masjid yang masih berdiri kokoh tidak hancur dan roboh karena bencana besar itu.  Anggi, dengan perlahan mulai membuka kedua kelopak mata indahnya yang masih lebam karena semalaman dia menangis tanpa henti melepaskan semua kepedihan hatinya dalam tangisannya. Anggi segera berdiri dengan mengusap-usap kedua matanya dengan kedua tangannya dari tempat tidurnya yang telah usang itu. Kejadian 3 minggu yang lalu, ingin segera dia hapus dari memori ingatannya.

            Anggi segera bergegas menuju ke tempat dimana ketika seorang hamba mengadu ke Sang Pencipta. Pencipta alam semesta yang selalu mengampuni dan mengabulkan pertobatan dan pengaduan dari hamba-Nya yang nista karena telah penuh dengan dosa. Anggi segera meraih gemercik air jernih nan suci dengan mengadahkan kedua telapak tangannya yang mungil. Mengusapkan air jernih itu dari kedua telapak tangannya ke wajah mungilnya yang berseri seri.

            Setelah mengambil air
wudhu , Anggi memohon kepada sang pencipta alam Yang Maha Kuasa. Anggi menginginkan sejuta harapan yang penuh dengan kebahagian tanpa adanya lagi sebuah tangisan yang menyayat hatinya. Hatinya telah remuk, hancur , berkeping keping tiada tara setelah kejadian yang telah menimpa keluarganya. Meninggalkan dia sendirian dalam kesunyian, tanpa memberi sebuah pesan karena telah dipanggil oleh sang Maha Pencipta. Anggi memohon untuk dikuatkan hatinya agar dapat melewati semua kisah hidupnya dengan hati yang tentram di kota yang telah penuh dengan kebiadapan manusia yang penuh dosa. Setelah gadis itu selesai memohon kepada Sang Pencipta. Dia segera menuju kamarnya, gadis itu melewati ruang dapur yang sepi tidak ada orang karena mungkin ibu panti masih belum bangun karena capek dengan pekerjaannya. Biasanya nenek Haya sudah bangun jika sudah adzan subuh berkumandang.  Di panti asuhan itu Anggi tinggal bersama anak yang bernasib sama sepertinya dan tinggal bersama ibu panti. Ibu panti asuhan itu bernama nenek Haya. Nenek Haya adalah seorang nenek-nenek yang telah berusia enam puluh tahun dan yang bersuka rela menjaga dan merawat sekumpulan anak yang membutuhkan bantuan dan kasih sayang dengan kemampuannya. Nenek  Haya dibantu anak perempuannya untuk menjaga dan merawat anak panti, anak nenek Haya telah berusia tiga puluh lima tahun. Anak nenek Haya bernama ibu Rina, dia telah bercerai dengan suaminya satu tahun yang lalu dengan dikaruniai anak laki-laki yang bernama Deo yang masih duduk di kelas 5 SD dengan usia 11 tahun. Anggi selalu tenang jika bercerita atau curhat ke nenek Haya , karena dia telah menganggap nenek Haya sebagai neneknya sendiri.

            Setelah melewati ruang dapur Anggi bertemu nenek Haya yang tertidur di meja makan dengan duduk di kursi dekat meja makan. Anggi mendapati nenek Haya yang tertidur dengan wajah pucat pasi karena kedinginan karena nenek Haya tidak memakai selimut dan akhirnya terkena angin malam yang dingin. Anggi mengambil langkah cepat, dia menuju ke arah nenek Haya yang  tertidur. Dengan sigap Anggi membangunkan nenek Haya agar terbangun dan pindah ke tempat tidur. Anggi menggoncangkan tangan nenek Haya yang dingin dengan pelan sambil berkata , “Nek, bangun Nek” . Perlahan nenek Haya membuka kedua kelopak mata teduhnya yang memakai kacamata sambil mengangkat kepalanya. “Nenek kok gak tidur di kamar sih Nek??”, tanya Anggi cemas dengan keadaan badan nenek Haya yang sangat dingin itu. “Nanti sakit loh Nek” , tambah Anggi lagi. Anggi membopong nenek Haya yang badannya agak lemas itu. Nenek Haya hanya tersenyum mendengar celotehan anak asuhnya yang cantik itu sambil bertanya dengan nada lega, “ Kamu sudah pulang ya?” . Seketika langkah Anggi terhenti dan langsung menoleh ke wajah tua di sampingnya itu dengan wajah kaget. “Jadi nenek nungguin Anggi di kursi makan sampai ketiduran Nek??”, tanya Anggi masih dengan wajah yang kaget. Mendengar pertanyaan dari Anggi, nenek Haya hanya tersenyum menandakan nenek Haya menjawab ‘iya’. Anggi merasa bersalah karena pulang terlalu malam. Melanjutkan langkahnya Anggi segera menuju ke kamarnya nenek Haya. “Zara sudah bangun apa belum Nggi?”, tanya nenek Haya dengan suara hampir tidak terdengar seakan suaranya telah ditelan hembusan Angin di dalam rumah itu. “Belum kayaknya Nek”, jawab Anggi tanpa menoleh ke arah nenek Haya. “Nanti Anggi bangunin zara kok Nek”, imbuh Anggi. Sesampainya di kamar nenek Haya, Anggi berkata sambil tersenyum, “Istirahat dulu ya Nek”.
   
             Setelah itu Anggi melangkahkan kakinya meninggalkan kamar nenek Haya. Dia menuju kamarnya yang masih sepi senyap, hening tanpa suara karena orang yang berada di dalamnya masih tertidur pulas tanpa adanya gangguan. “Ck..!!”, Anggi berdecak kesal, karena temannya masih belum bangun dan masih tertidur dengan tubuh dan wajah yang masih tertutup selimut tebal yang hangat untuk melindunginya dari angin dingin yang dapat membuatnya menggigil kedinginan. Namun sekarang waktu sudah beranjak pagi, memberi peluang kepada sang raja siang untuk segera menggantikan kehadiran putri malam yang cahayanya mulai meredup terkalahkan dengan cahaya terang sang raja siang yang terang benderang. “Ck”, Gadis itu berdecak kesal dan menggaruk kepalanya sambil memandangi jam dinding yang terbuat dari plastik yang mengkilat berwarna merah  yang telah menandakan sudah pukul 05.00
WIB.  ‘Udah jam 5 pagi, kok masih belum bangun sih nih anak’, batin Anggi kesal dengan teman sekamarnya yang selalu bangun tidak tepat waktu karena malas.

            Anggi dengan semangat 45 membangunkan teman sekamarnya sekaligus teman sekolahnya itu dengan sekuat tenaga. “Hey, ayo bangun!” , teriak Anggi dengan nada yang tinggi di dekat telinga Zara yang masih terlelap sambil membuka selimut yang menutupi tubuh dan wajah temannya itu. Dengan cara itu Zara teman SMA Anggi masih belum dapat membuat membuka matanya. Mengerti akan usahanya gagal membangunkan temannya yang masih tertidur, gadis itu berteriak di telinga Zara dengan keras “Zaraaaaaa... ayo banguuuun..!!”, sambil menggoncang-goncangkan tubuh Zara dengan tempo yang cepat. Perlahan  Zara mulai membuka matanya sambil mengusap-usap kedua matanya dengan tangannya. “Hoaaam,.. ada apa sih?? Kok teriak-teriak kagak jelas gitu!?”, tanya Zara dengan nada kesal sekaligus tidak mengerti. Anggi tidak menjawab pertanyaan dari temannya yang masih setengah sadar dari tidur pulasnya. “Tumben bangun pagi.. hmm???”, tanya zara dengan mengerutkan keningnya tanpa membuka kedua matanya seolah-olah tidak mengerti. Anggi pun juga ikut mengerutkan keningnya dengan diikuti kedua matanya yang menyipit. “ Heh kamu! Kamu gak salah bicara ?? kan biasanya kamu yang bangun siang! ckckck”, dengan nada membentak  Anggi memandang teman sekamarnya dengan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Emang masih jam berapa sihh??” , tanya Zara sambil duduk di tepi tempat tidur dengan mata yang menyipit. “Masih?? Udah jam 5 lebih tuh”, Anggi berkata sambil mengarahkan dagunya ke jam dinding kamar mereka.  “Oh.. jam 5 lebih”, ucap Zara meremehkan dan kembali tidur. Dan zara mengangkat tubuhnya kembali sambil berkata dengan mata melotot , “Haaa!! Jam 5 lebihhh!!?”. Anggi hanya menganggukan kepalanya dengan santai. Zara segera menuju kamar mandi untuk mandi dan wudhu. Setelah itu Zara sholat subuh. Setelah sholat, Zara segera mengenakan seragam SMAnya. Melihat Zara mengenakan seragam SMA, Anggi hanya terdiam heran melihat kelakuan teman sekamarnya sekaligus teman seSMA nya itu. Waktu sudah menunjukan pukul 06.30. Ketika memasukkan sepatu ke kakinya, Zara menoleh ke wajah Anggi dengan heran. “Nggi, kamu kok gak pakek seragam sekolah sihh??”, tanya Zara dengan wajah heran karena dari panti asuhan ke sekolahnya dengan jalan kaki  butuh menempuh waktu 15 menit. Sedangkan di sekolahnya pukul 06.45 gerbang sudah mulai ditutup.

             Jika mereka berangkat sekolah mereka harus jalan kaki untuk
menghemat uang yang mereka punya agar tidak cepat habis. “Sekarang kan hari libur Ra”, jawab Anggi dengan nada santai. Seketika Zara menghentikan langkah kakinya tepat di depan pintu kamar mereka dengan menatap wajah Anggi, “Ha !! hari libur?? emang ada apa kok libur??”, tanya Zara heran. “Ck”, Anggi berdecak mendengar pertanyaan temannya itu. “Sekarang kan hari Minggu Zaraaa”, ucap Anggi dengan nada sedikit tinggi dengan menunjuk kalender di sampingnya yang ada di dinding kamar mereka dengan telunjuk tangan kanannya. Kok gak ngomong dari tadi sihh Nggi”, ucap zara sambil cemberut. “Ahaahaha.. biar, kamu sih langsung nyelonong masuk kamar keburu-buru gitu kan tanggung”, ucap Anggi dengan nada meledek teman sekamarnya itu. “Ck.. Uh”, decak Zara sambil mulai mengganti seragam sekolahnya dengan kaos warna biru polos yang dibelikan oleh dermawan yang membantunya.

            “Tok!tok! tok!!tok!!!”, terdengar suara ketukan pintu kamar mereka.  Zara menoleh ke arah Anggi, “Siapa Nggi??”,  tanya Zara. Anggi hanya mengangkat kedua bahunya kemudian menggelengkan kepalanya. “Anggi , Zara ayo cepet sarapan. Semuanya udah nunggu di ruang makan”, terdengar suara Ibu Rina di luar pintu kamar mereka yang ditutup. Tanpa membuka pintu, Zara menjawab dengan nada keras agar suaranya terdengar Ibu Rina, “Oke bu, nanti kita berdua nyusul”. Mendengar jawaban Zara, ibu Rina berkata, “Iya udah Ibu tunggu di ruang makan ya, cepetan!!” setelah itu ibu Rina melangkahkan kakinya menjauh dari kamarnya Anggi dan Zara menuju ruang makan. Anggi dan Zara keluar dari kamar mereka kemudian menuju ruang makan. Sesampai di ruang makan akhirnya mereka sarapan bersama. Anggi menjalani hari itu seperti hari biasanya, melakukan kegiatan bersama temannya Zara.

            Keesokan harinya cuaca sangatlah tidak bersahabat. Sang raja siang yang malu-malu menutupi dirinya dengan kapas-kapas yang tadinya putih, sekarang terkena noda menjadi kapas yang hitam, gelap. Hari ini angin berhembus sangat kencang, pohon-pohon disekitar rumah tetangga dan rumah panti asuhan itu bergoyang-goyang mengikuti arah datangnya angin seakan tidak dapat untuk bertahan di tempat. Segerombolan gemercik air bening mulai berjatuhan menghalangi umat manusia untuk melakukan aktifitas mereka seperti biasa.

            Anggi menatap tajam langit yang hitam gelap itu. Kecewa karena dia tidak bisa berangkat sekolah karena hembusan angin sangatlah kencang serta ditemani dengan derai air hujan yang deras. Zara menatap Anggi yang memblakanginya karena tatapannya yang sedang terkunci menatap langit yang hitam pekat itu. Zara tersenyum dan berkata, “Besok pasti cuacanya terang kok” . Anggi masih memblakanginya dan terus menatap tajam langit yang menyembunyikan sang raja siang.

            Zara melangkah mendekati Anggi dan berkata, “Percaya deh sama aku, aku kan punyak indra ke 9”. “Nggak lucu” , jawab singkat Anggi tanpa menoleh ke arah temannya yang berada di belakangnya itu. “Huh..siapa juga yang bilang lucu, emang aku pelawak. Oh iya.. ngerjain tugas yang buat besok ayok”, ajak Zara. “Aku sudah selesai”, jawab Anggi tanpa menoleh. Anggi memang anak yang rajin, dia selalu mengerjakan tugas yang diberikan gurunya setelah pulang dari sekolah. Bertolak belakang dengan  Zara yang malas untuk mengerjakan tugas. Di sekolahnya yang dulu, sebelum pindah ke sekolah yang sekarang, Zara pernah dihukum berdiri di depan kelas dengan tangan kirinya memegang telinga kanannya dengan satu kaki kirinya yang diangkat karena tidak mengerjakan tugas yang diberikan gurunya. “Tapi aku kan belum ngerjain tugas yang diberi pak  Jono buat besok,  Nggi. Ayolah bantuin aku kamu kan temenku yang paling baik. Iya kan, iya kan, iya kaaaaaaaaaaan”, bujuk Zara berhasil membuat Anggi menoleh ke belakang menatapnya. “Oke, ayo aku bantu”, ucap Anggi menuju kamarnya. Zara tersenyum dan segera mengikuti langkah kakinya Anggi menuju kamar mereka untuk membantu menyelesaikan tugas yang diberi dari pak Jono. Pak Jono merupakan guru terkiller di sekolahnya, pak Jono adalah guru mata pelajaran kimia. Pak Jono dulu pernah membuat siswinya menangis dibentak pak Jono karena tidak mengerjakan tugas yang beliau beri.

            Anggi sangatlah menguasai pelajaran kimia, sehingga tugas Zara yang merupakan kewajiban Zara untuk mengerjakannya sendiri telah selesai dikerjakan Anggi dengan cepat. Hanya butuh waktu 5 menit untuk menyelesaikan tugas Zara dengan 10 nomor. “Nah, akhirnya selesai”, ucap Anggi sambil melihat jam dindingnya. Karena di kamarnya sepi tidak ada celotehan teman sekamarnya dia menjadi bingung dan menoleh ke arah belakang.  Anggi mendapati Zara yang sudah tidur di tempat tidurnya Zara dengan seragam SMAnya yang masih melekat di tubuhnya. ‘Nih anak tugas udah selesai, malah tidur’, batin Anggi kesal dengan tingkah laku temannya itu. Anggi membangunkan Zara dengan menggoncang-goncangkan tubuhnya. Namun hal itu sia-sia. Anggi pun akhirnya merebahkan tubuhnya di samping temannya yang sudah tidur itu.

            Cuaca mulai membaik, hujan reda, angin pun mulai tenang dan langit perlahan menjadi terang. Sekarang sang raja siang perlahan mulai menampakkan wajahnya tanpa terhalangi oleh apapun. Adzan berkumandang mulai terdengar  sayup-sayup karena Anggi dan Zara masih tertidur pulas. Anggi yang mendengar adzan yang berkumandang perlahan segera membuka kedua kelopak matanya. Anggi segera mengganti seragam sekolahnya yang tadi dia pakai untuk berangkat sekolah yang terhalang oleh hujan. Setelah mengganti pakaiannya, Anggi segera membangunkan Zara yang masih tidur, “Heii, ayo cepet bangun!!!”. Zara pun membuka matanya dengan terpaksa dan segera ganti baju. “Sholat Dhuhur ayo, di masjid sebelah!!”, ajak Anggi dengan menoleh ke arah Zara. “Ayo!”, jawab singkat Zara tanpa menolak. Mereka segera menuju ke masjid sebelah panti asuhan yang sekarang merupakan tempat tinggal mereka itu.

            Anggi dan Zara segera mengambil gemercik air suci dengan mengadahkan kedua telapak tangannya untuk membasuh wajah mungilnya dan untuk membasuh anggota tubuh lain. Setelah membasuh anggota tubuhnya dengan air wudhu, mereka segera menghadap ke sang pencipta alam untuk berdoa dan memohon ampun. Setelah sholat, kedua sahabat itu melangkahkan kaki untuk pulang menuju panti asuhan. Di tengah perjalanan mereka melihat Ibu Rina melambaikan tangannya menandakan kepada mereka agar segera pulang. “Eh ada apa itu? ayo cepet”, ajak Zara sambil menarik tangan Anggi dengan erat takut terjadi
apa-apa dengan anggota keluarganya yang baru.

            Sesampainya di ambang pintu rumah, Ibu Rina segera menarik tangan Zara dan menuju ke dalam kamar Nenek haya. Perasaan Anggi terasa tidak enak ketika langkah cepat kaki ibu Rina menuju kamar nenek haya dengan tergesa-gesa. “Nggi nenek Haya sekarang suhu badannya panas, beliin obat di toko sebelah gih” , perintah ibu Rina tanpa menoleh. Anggi terkejut, wajahnya pucat pasi dia merasa bersalah karena kemaren malam dia pulang terlambat dan nenek Haya menunggunya di ruang makan sampai ketiduran dan akhirnya sakit. “Nggi, ayo cepat belikan obat di toko sebelah!!”, ucap ibu Rina sedikit membentak karena cemas membuyarkan lamunan Anggi. Anggi segera beranjak keluar menuju pintu depan. “Aku ikuuut!!”, teriak Zara agar suaranya terdengar oleh Anggi. Anggi segera menghentikan langkahnya ketika mendengar teriakkan Zara untuk menunggu  Zara.

            Setelah beli obat untuk nenek Haya, Anggi dan zara segera berlari menuju rumah. Nenek Haya segera minum obat, setelah minum obat nenek Haya tidur untuk istirahat. Perasaan Anggi mulai agak tenang ketika nenek Haya sudah tidur dan suhu tubuhnya mulai menurun. Suara adzan berkumandang memanggil umat untuk segera menghadap kepada sang pencipta. Anggi sholat dengan keluarga barunya, meminta agar nenek Haya cepat sembuh.

            Ketika sedang melipat mukenah. “Tin tin tin”, terdengar suara klakson mobil dari luar rumah. “Nggi, coba liat ke depan ada siapa itu”, mendengar perintah dari ibu Rina, Anggi segera menganggukkan kepalanya menandakan bahwa dia mengerti. Zara pun ikut menyusul langkah kaki Anggi yang menuju pintu depan.

            “Assallamualaikum..”, terdengar suara ibu-ibu dari luar rumah. “Wa’alaikkumsallam”, jawab Anggi sambil membuka pintu.
“Ehh.. Ibu Dina, silahkan masuk”, sela Zara menyalami ibu Dina tanpa memperdulikan Anggi yang membukakan pintu. Ibu Dina merupakan seorang  dermawan yang selalu membantu korban bencana yang tinggal di panti asuhan itu ketika ada kesulitan biaya atau apapun. Setelah bersalaman, Anggi mempersilahkan ibu Dina untuk duduk. Sedangkan Zara ke belakang mengambikan minuman untuk ibu Dina. Ketika melewati kamar Nenek Haya, ibu Rina bertanya, “Ada siapa Ra?”. Zara terkejut dan menghentikan langkahnya, Zara kaget karena tadi ibu Rina berada di mushola dan tiba-tiba sekarang berada di kamar nenek Haya. “Ooh,.. Ibu Rina aku kira siapa. Itu ada Ibu Dina”, jawab Zara dengan nada lega. “Ibu Dina?? Sekarang ibu Dina ditemani siapa di depan, Ra?”, tanya Ibu Rina. “Sama Anggi Bu, yaudah Zara mau ke dapur dulu mau ngambilin minuman buat ibu Dina ya”, jawab Zara sambil melangkah menuju ke dapur.

            Anggi menemani Ibu Dina di ruang tamu dan berbincang-bincang. “Lhoo.. Nggi, nenek Haya mana?? Kok gak ada??”, tanya ibu Dina sambil menoleh ke arah ruang keluarga. Anggi hanya tertunduk lemas kemudian mengangkat kepalanya kembali dan berkata, “Nenek Haya sakit Bu”, ucap Anggi lirih. “Sakit?? Sakit apa??”, tanya Ibu Dina dengan mengerutkan keningnya yang sudah agak keriput dengan heran. “Badannya panas Bu, gara-gara kemaren malem tidur di ruang makan”, jawab Anggi sambil menggigit bibirnya. “Loh.. kok nenek Haya bisa tidur di ruang makan?”, tanya ibu Dina dengan nada heran. “Kemaren malem Nenek Haya nungguin Anggi pulang sampai ketiduran”, jawab Anggi dengan nada
bersalah. “Sekarang nenek Haya dimana?”, tanya Ibu Dina sambil mengangkat tubuhnya untuk berdiri. “Di kamar”, jawab Anggi dengan pelan. “Ibu Rina mana??” tanya ibu Dina melangkah menuju ke arah Anggi. “Ibu Rina lagi nungguin nenek Haya Bu” jawab Anggi sambil menatap ibu Dina. “Anterin Ibu ke kamarnya nenek Haya dong”, bujuk ibu Dina agar Anggi tidak terus merasa bersalah. Anggi pun segera berdiri dan melangkahkan kakinya menuju kamar nenek Haya dengan diikuti langkah kaki ibu Dina.

            Zara yang sudah membuatkan teh untuk minuman ibu Dina segera menuju ke ruang tamu dengan membawa dua teh hangat dengan alas baki dari plastik. “Loh.. ibu Dina sama Anggi mana?? Huh ditinggalin Aku”, ucap Zara kesal sambil meletakkan baki yang menyangga dua gelas teh hangat di atas meja. Zara segera menuju dapur untuk meletakkan baki yang tadi dia bawa. Anggi dan ibu Dina sampai di depan pintu kamar nenek Haya.
“Ibu Haya kenapa??”, tanya ibu Dina ke ibu Rina dengan nada cemas sambil memegang tubuh nenek Haya yang suhunya semakin hangat. Mengetahui ibu Dina dan Anggi berada di kamar nenek Haya, Zara dari dapur segera melangkahkan kakinya menuju ke kamar nenek Haya.
 “Ayo saya antar nenek Haya ke rumah sakit untuk berobat”, ucap ibu Dina sambil menatap ke arah ibu Rina. “Tidak usah kok Bu, nanti ngerepotin Ibu”, ucap ibu Rina meyakinkan ibu Dina untuk tidak membawa nenek Haya berobat ke rumah sakit. “Enggak kok Bu”, ucap ibu Dina meyakinkan. ibu Dina segera keluar dari kamar nenek Haya untuk memanggil sopirnya yang berada di dalam mobilnya. Setelah itu sopir ibu dina menggendong nenek  Haya untuk dibawa ke mobil. Ibu rina, Anggi dan Zara ikut masuk ke mobil untuk berangkat ke rumah sakit. Sedangkan anggota keluarga yang  lain tetap tinggal di rumah.

            Hari mulai petang, sang raja siang mulai menyembunyikan wajahnya untuk berganti posisi dengan putri malam yang sudah menunggu untuk menggantikannya. Namun, sayangnya ketika di dalam perjalanan. Putri malam tidak menampakkan wajahnya karena terhalang kabut hitam yang menambah gelap malam tanpa ditemani putri malam. Segerombolan air mulai turun jatuh bebas dengan ditemani hembusan angin malam yang sangat kencang.

            Tepat di pertigaan jalan ada seorang pejalan kaki yang menggunakan mantel plastik dengan satu tangan yang memegang payung menyebrang  tepat berada di depan mobil yang mereka tumpangi. “Awaaaaaaaaass di depaaan!!!!!”, teriak Anggi memperingatkan sopir ibu Dina untuk menghindar. Kecelakaan pada waktu maghrib itu tidak terhindarkan. Sang sopir tidak dapat menguasai mobil sehingga mobil itu terbalik dan menabrak sebuah tiang listrik yang berada di dekat jalan yang mereka lewati. Setelah kejadian itu beberapa saat kemudian Anggi tersadar. Kepalanya mengeluarkan darah karena terkena pecahan kaca mobil, namun dia sudah tidak peduli. Hujan masih deras, dia membangunkan ibu Rina dan membantu temannya zara yang kakinya terjepit tempat duduk. Akhirnya Anggi dapat menolong dan menyeret Zara keluar dari mobil. Setelah itu Anggi membantu ibu Rina untuk mengeluarkan nenek Haya dari dalam mobil. Setelah menolong nenek Haya. Anggi ingin membantu ibu Dina dan sopirnya yang masih belum sadar untuk keluar dari mobil. Namun, kuasa sang Maha pencipta tidak dapat terkalahkan oleh makhluknya yang penuh dosa. Seketika mobil itu meledak, seketika anggi terbelalak mendapati kobaran api yang menyala-nyala menyelimuti mobil ibu Dina. Anggi, Zara dan ibu Rina meneteskan butiran kristal bening menyaksikan kejadian yang sungguh menyayat hati itu. Sedangkan nenek Haya masih tidur dalam keadaannya yang masih sakit. Seketika, Anggi tidak sadarkan diri karena pendaraan di kepalanya.

            Tak beberapa lama kemudian banyak orang yang membantu mereka untuk dilarikan ke rumah sakit terdekat. Sesampai di rumah sakit mereka mendapatkan perawatan medis dan nenek Haya harus di opname. Ibu Rina yang hanya terkena luka ringan langsung diperbolehkan untuk pulang, namun ibu Rina masih cemas dengan keadaan Anggi dan Zara yang masih belum diketahui keadaannya. Kemudian seorang suster menuju ke arahnya dan memberi tahu bahwa keadaan Anggi sedang pendarahan hebat dan masih belum mendapat donor darah karena stok darah yang cocok dengan anggi sudah habis. Sedangkan Keadaan Zara, kaki kanan Zara harus diamputasi karena kaki kanannya sudah rusak karena kecelakaan itu. Ibu Rina yang mengetahui keadaan dua anak asuhnya itu cemas tiada henti sehingga membuat air mata yang sudah mengambang di kedua kelopak matanya pecah.


            Dua hari kemudian Anggi sudah mendapatkan donor darah, sehingga dia dapat terselamatkan.  Namun, sungguh malang nasib sahabatnya yang kakinya harus diamputasi itu. Saat di ruang tunggu, mereka ditemui oleh keluarga ibu Dina. Mereka di caci maki karena dituduh  telah menyebabkan ibu Dina meninggal dunia. Mereka hanya bisa tertunduk menangis. “Saya akan balas perbuatan kalian”, ucap salah satu anak ibu Dina dengan nada tinggi sambil menangis karena tidak bisa menerima kenyataan pahit itu. Setelah itu keluarga ibu Dina meninggalkan mereka. Beberapa saat kemudian ada seorang suster menuju ke arah mereka dengan membawa kertas. “Mohon segera ke tempat administrasi bu”, ucap seorang suster itu dengan sambil menyodorkan kertas yang dibawanya tadi. Melihat kertas itu, Ibu Rina menangis, “Ibu dapat darimana uang sebanyak 5 juta??” ucap ibu Rina dengan kepala tertunduk. “Pakek uang tabungan kita berdua aja bu, mungkin cukup”, ucap Anggi. “Mana cukup Nggi??”, ucap zara cemas. “Ya gak papa, nanti sisanya kita bisa nyicil”, imbuh Anggi.

            Mereka segera menuju ke tempat administrasi, “Sus, kami boleh gak kalau nyicil sus?”, tanya ibu Rina pelan. “Maaf Buk, disini pembayaran administrasinya harus kontan Buk”, ucap suster yang mengurus bagian administrasi. Anggi tercengang kaget, “Kalau nyicil emangnya kenapa Sus? Kan yang penting bayar Sus!”, ucap Anggi dengan nada lirih seakan putus asa dengan keadaan yang menimpanya sekarang. “Boleh sih Dek bayar nyicil tapi pasien yang bernama ibu Haya harus segera keluar meninggalkan kamar karena masih banyak pasien yang membutuhkan kamar”, ucap suster itu menjelaskan. Tidak ada pilihan lagi, mereka harus membawa nenek Haya pulang. Keadaan nenek Haya sudah sedikit
membaik.

            Sesampai di rumah panti asuhan. Dikamarnya nenek Haya tersadar kemudian melihat sekelilingnya. Nenek Haya kaget mendapati Anggi yang kepalanya di perban dan kaki kanannya Zara yang telah di amputasi. Nenek Haya tidak sadar menjatuhkan kristal bening dari kedua kelopak mata teduhnya dan bertanya, “Kalian kenapa nak??”. Anggi tak kuasa menahan air matanya, pertahanannya telah runtuh, kristal bening  jatuh dari kedua kelopak matanya membasahi pipi mungilnya. Zara pun tak mampu untuk menceritakan kejadian yang telah menimpa mereka. Ibu Rina menceritakan kejadian yang telah terjadi dengan menangis. Mendengar cerita dari ibu Rina, Nenek Haya hanya terdiam dan menangis.

            Beberapa saat kemudian suhu tubuh nenek Haya kembali meninggi. Ibu Rina segera mengambil sisa obat untuk nenek Haya yang kemaren dibelikan Anggi. Hari sudah malam, hembusan angin malam semakin dingin dapat membuat menggigil orang yang terkenanya tanpa dilindungi dengan selimut yang tebal. Anggota keluarga besar panti asuhan itu tidur bersama-sama di kamar nenek Haya untuk menjaga nenek Haya dan memastikan bahwa nenek Haya masih baik-baik saja.

            Keesokan harinya cuaca sangatlah bersahabat, Sang raja siang tanpa malu-malu menampakan wajahnya tanpa dihalangi oleh apapun. Anggi perlahan mulai membuka kedua kelopak mata indahnya. Jam dinding telah menunjukkan pukul 10.00. Dia kesiangan karena semalaman menjaga nenek Haya. Hari ini Anggi memutuskan untuk tidak masuk sekolah dulu karena khawatir dengan keadaan nenek  Haya yang masih sakit.  Dia mendapati masih belum ada yang sudah bangun. Dia segera membangunkan ibu Rina karena mengetahui bahwa suhu tubuh nenek Haya yang tinggi. Zara pun ikut terbangun. Ibu Rina menjadi panik, cemas akan keadaan nenek Haya. Ibu Dina mengecek tempat obat yang kemaren dibeli Anggi untuk nenek Haya. Obatnya semakin berkurang. “Kring kring kring”, terdengar jeritan dari telepon rumah panti asuhan itu. Ibu Rina
segera mengangkat ganggang telepon. Ternyata telepon itu menjerit karena pihak rumah sakit menagih uang administrasi untuk segera dilunasi. Ibu Rina menutup ganggang telepon dengan lemas. Ibu Rina menuju kamar nenek Haya. Mengetahui hal tersebut, semua tabungan yang dipunya anak-anak panti dikumpulkan untuk meringankan beban Ibu Rina. Ibu Rina menangis, terenyuh mendapati perlakuan dari anak asuhnya. Setelah menghitung uang yang telah dikumpulkan, ternyata jumlah uang yang dikumpulkan masih belum cukup untuk melunasi biaya administrasi rumah sakit. Akhirnya Ibu Rina mengumpulkan perabotan rumah tangga yang ada di panti asuhan untuk dijual. Setelah menjual perabotan rumah tangga yang ada, Ibu Rina segera membayarkan uang dari tabungan semua anak asuhnya dan uang hasil penjualan perabotan rumah tangga yang ada ke rumah sakit, akhirnya uang administrasi terlunasi walaupun sekarang di Panti sudah tidak ada barang berharga lagi selain motor yang dibelikan ibu Dina untuk ibu Rina.                                                                                             

            Setelah dari rumah sakit, ibu Rina segera menuju ke rumah. Sesampai di rumah, ibu Rina mendapati Anggi dan Zara yang cemas memegang tangan nenek  Haya yang suhu badannya semakin tinggi. Ibu Rina semakin cemas, ibu Rina mencari obat yang kemaren Anggi beli. Ternyata obat untuk nenek Haya sudah tidak cukup. Ibu Rina mengambil langkah cepat dan mengambil kontak sepeda motor untuk segera membeli obat . Ibu Rina menggunakan sepeda motornya untuk membeli obat. Setelah membeli obat dari toko terdekat, ibu Rina segera menuju rumah. Dalam perjalanan ada seekor kucing yang menyebrang, ibu Rina berusaha menghindar agar kucing yang berada di depannya tidak tertabrak. Namun sayangnya, ketika menghindar dari seekor kucing di arus yang berlawanan ada sebuah truk kontrainer melaju dengan kecepatan tinggi. Kecelakaan pun tak bisa dihindari. Ibu Rina dan motornya terseret sejauh 100 meter.  Darah berceceran di mana-mana. Motor ibu Rina yang merupakan pemberian dari Ibu Dina telah rusak karena terkena lindas ban truk kontrainer.

            Anggi dan Zara masih menunggu kedatangan ibu Rina dengan cemas karena takut keadaan nenek Haya semakin buruk. “Tok tok tok”, suara ketukan pintu terdengar dari arah depan. “mungkin itu ibu Rina, Nggi. Coba diliat gih”, ucap Zara lirih. Anggi hanya menganggukkan kepalanya dan segera beranjak keluar dari kamar nenek Haya menuju ke ruang tamu untuk membuka pintu depan. Setelah membuka pintu Anggi dikejutkan dengan kedatangan dua orang dengan berpakaian polisi.

            Anggi langsung tercengang, seakan tidak percaya. Ibu Rina yang mulai tadi dia tunggu tidak kunjung datang ternyata telah mengalami kecelakaan. Kristal bening jatuh dari kedua kelopak matanya, air matanya pecah. Pemakaman ibu Rina telah menguras air mata semua keluarga yang beliau tinggalkan. Setelah pemakaman, nenek Haya istirahat di kamar tidurnya. Beberapa saat kemudian, tubuh nenek Haya semakin panas. Anggi dan Zara hanya bisa menangis dengan keadaan nenek Haya yang semakin memburuk. Salah satu tetangga Anggi prihatin dengan keadaan mereka. Nenek Haya segera dibawa ke puskesmas  terdekat. Setelah itu keadaan nenek Haya sedikit membaik.

            Keesokan harinya udara sangat sejuk, cahaya terang sang raja siang tertutupi kapas-kapas putih yang beterbangan di langit. Tidak memihak dengan keadaan Anggi saat ini yang jauh sangat hitam gelap dan kelam.
Anggi menangis di dalam kamar nenek Haya tidak mengerti akan kehidupan ini, namun dia harus bangkit dari keterpurukannya. Dia berpikir  untuk bekerja dan menemani nenek Haya, gadis itu sudah tidak memikirkan sekolahnya.  Anak ibu Reni yang berusia 11 tahun juga sudah
diambil oleh ayahnya, ketika ayahnya mendengar bahwa ibu Reni telah meninggal.

            Sekarang Anggi bekerja dengan menjual koran yang modalnya diberi oleh tetangganya karena kasihan. Di bawah cahaya sang raja siang anggi membanting tulang berlari-lari menjajakan koran yang dia bawa di lampu merah. Beberapa orang menolak untuk membelinya dan beberapa juga ada yang membeli korannya. Sampai sang raja siang mulai tenggelam dengan beriringnya waktu. Anggi duduk di bawah lampu merah. Dia baru tersadar bahwa mencari uang sangatlah susah, dia menyadari betapa bodohnya dia dulu menghabiskan uang tanpa memikirkan bahwa masih banyak orang yang susah mencari uang. Dengan masih membawa koran yang belum terjual Anggi segera menuju ke Panti asuhan. Anggi hanya membawa uang sebesar 20 ribu. Anggi memasak lauk seadanya, di Panti asuhan hanya 2 orang anak , dia, Zara dan nenek Haya.

            Sang raja siang perlahan mulai menampakkan wajahnya menggantikan sang putri malam yang sudah begadang semalaman.
Anggi sudah mulai siap-siap untuk bekerja, lampu merah tempat menghentikan kendaraan yang berlalu lalang adalah tujuannya hari ini.
Setelah beberapa lama dia menjajakan koran, gadis itu sudah tidak mampu menerjang panasnya cahaya dari sang raja siang yang sangat
panas. Keringatnya bercucuran tak henti. Anggi menyerah dan duduk beistirahat di pohon yang telah berusia di pinggir jalan raya itu.

            “Gubrak..gubrak”, Zara yang tetap tinggal di rumah bersama nenek Haya kaget karena mendengar suara aneh dari depan rumah. Dengan susah payah Zara mengambil jagrak untuk menyeimbangkan tubuhnya ketika berjalan menuju ke depan rumah. Zara keluar dari rumah, dan dia tercengang disana. Dia melihat anak ibu Dina yang waktu itu pernah dia lihat ketika di rumah sakit bersama dengan 4 orang yang berbadan besar. Disana juga ada traktor yang berfungsi  untuk menggusur Panti asuhan
yang ditinggali oleh Zara dan Anggi.

            Seketika tubuh Zara melemas melihat apa yang berada di depannya. Zara langsung histeris menangis, tidak than dengan kehidupan yang sedang dia jalani. Zara segera mendekati anak ibu Dina dengan tongkat yang membantunya untuk berjalan. Ketika Zara menuju anaknya ibu Dina, tiba tiba anaknya ibu Dina memerintahkan anak buahnya untuk segera melaksanakan tugasnya. Tiba-tiba rumah Panti asuhan itu digusur. Tetangga dan masyarakatnya setempat hanya bisa melihat kejadian itu tanpa bisa menolong karena anak buah dari anaknya ibu Dina yang menghalangi-halangi masyarakat untuk membantu Zara. Zara langsung tercengang, gadis itu ingat bahwa di dalam masih ada dua adik asuhnya dan nenek Haya yang sedang terbaring lemas di kamarnya. Zara histeris, air matanya pecah. “Neneeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeek!!!!!!”, teriak Zara dan segera menuju sisa runtuhan bangunan Panti asuhan. Zara terjatuh karena tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya yang hanya mempunyai satu kaki. Zara menangis melihat Panti asuhan telah runtuh, meruntuhi orang-orang yang dia sayangi. Darah mengalir ke arahnya karena tempatnya adalah tempat rendah dari rumah itu. Melihat darah merah yang mengalir, tangis Zara semakin histeris. “Hahahaha sekarang kalian merasakan rasanya ditinggalkan oleh keluarga kalian!! hahahahaha”, terdengar teriakan puas sang anak dari ibu Dina. Zara masih menangis meliat kejadian itu menimpa keluarga barunya. Sedangkan anak  ibu Dina telah dimasukkan ke rumah sakit jiwa karena terkena tekanan batin mendengar  ibu Dina yang meninggal karena kecelakaan. Anak buahnya pun juga turut dimasukkan ke dalam sel penjara karena melakukan tindak pembunuhan berencana.

            Zara menghentikan tangisnya dan berusaha berdiri dengan kekuatan yang dia miliki dibantu dengan tongkatnya. Dia membuka reruntuhan bangunan untuk melihat tubuh yang tergeletak lemas karena terkena reruntuhan bangunan secara tiba-tiba itu. “Nenek..”, ucap Zara dengan pelan sambil kembali meneteskan air matanya karena melihat orang yang dia sayangi dan sudah dia anggap sebagai nenek kandungnya sendiri telah tergeletak lemas bersimbah darah terkena reruntuhan bangunan Panti asuhan itu. “Zara”, ucap nenek Haya lirih hampir tidak terdengar karena tertelan hembusan angin sepoi-sepoi. “Jaga diri baik baik ya nak”, ucap nenek Haya mengingatkan. Mendengar ucapan nenek Haya, Zara hanya menatap mata teduh nenek Haya dengan rasa pedih, pilu, hancur dan sekaligus bersalah karena meninggalkannya di rumah sendirian. ‘Ya allah jika engkau mengijinkan hamba ingin menggantikan posisi nenek Haya Ya Allah’ batin Zara karena tidak tahan menghentikan tangisnya karena kejadian itu telah menyayat hatinya yang dulu pernah hancur karena ditinggalkan oleh keluarganya karena terkena bencana alam yang menimpa keluarganya. “Jangan menangis Ra, Nenek akan selalu menemani dan menjaga Zara dan Anggi walaupun raga nenek telah dikuburkan. Tolong jangan nakal lagi ya Za..”, ucapan nenek Haya terputus karena Sang tuhan maha Kuasa telah memanggilnya untuk segera kembali ke hadapannya. “Neneeeeeeeeeeekk!!!!!!”, teriak Zara histeris sambil menggoncang-goncangkan tubuh nenek Haya yang rohnya telah diambil oleh sang maha kuasa dengan memerintahkan malaikatnya untuk menjemput manusia yang telah Dia panggil. Tiba-tiba tubuh Zara terasa lemas Zara tidak sadarkan diri karena terkejut dengan keadaan yang tidak berpihak padanya. Masyarakat setempat segera memindahkan Zara ke salah satu rumah warga untuk istirahat, sedangkan jenazah nenek Haya dan dua orang adik asuhnya Zara dan Anggi segera di bawa ke masjid terdekat untuk dimandikan. Anggi yang masih mencari uang dengan menjajakan koran yang berada di tangannya masih belum mengetahui dengan musibah yang telah membuat nyawa nenek Haya dan kedua orang adik asuhnya telah diambil oleh malaikat dengan perintah Sang Maha Kuasa. Hari ini Anggi berencana untuk pulang terlambat karena gadis itu ingin mendapatkan uang yang lebih banyak dari kemaren agar bisa membelikan obat untuk nenek Haya.

            Beberapa saat kemudian, Zara terbangun dan berharap kejadian tadi hanyalah sebuah mimpi yang amat teramat sangat buruk baginya. Namun ketika dia tersadar dia tidak berada di dalam kamar nenek haya, Zara tercengang. Zara segera keluar dari ruangan itu, langkah kakinya yang dibantu dengan tongkat seketika terhenti karena melihat nenek haya
terbaring kaku telah dimandikan oleh warga setempat. Air mata Zara seketika pecah dan menggeleng-gelengkan kepalanya seakan dia tidak percaya dengan apa yang telah dia lihat. Zara berlari dengan sekuat tenaganya dengan dibantu tongkatnya menjauhi kerumunan warga yang sedang memandikan jenazah nenek  Haya dan dua orang adik asuhnya.

            Ketika di jembatan, Zara terjatuh karena menginjak sebuah pecahan kaca. Anggi yang sudah membeli obat untuk neneknya melihat Zara yang jatuh tersungkur tanpa ada yang menolong. “Zaraaa!!!”, teriak Anggi agar suaranya terdengar. Namun Zara tidak mendengar teriakkan dari temannya. Zara segera mengambil pecahan gelas itu, gadis itu berfikir hidupnya telah menyusahkan orang lain, tidak berguna dan tidak bisa menjaga orang yang dia sayangi. Melihat tindakan Zara, Anggi berlari menuju ke arah Zara. “Ra.. kamu kenapa nangis???”, tanya Anggi heran sekaligus cemas karena Zara memegang sebuah pecahan kaca yang dapat menyayat siapa saja yang terkena goresannya. “Nggi anaknya ibu Dina tadi datang ke Panti untuk balas dendam karena kita udah nyebabin ibu Dina meninggal dalam kecelakaan, Panti asuhan digusur sama anak buahnya atas perintahnya nggi. nenek haya yang masih ada di dalam panti kena runtuhannya bangunan Nggi”, ucap Zara sambil menangis. Anggi tercengang mendengarkan penjelasan dari temannya itu. Plastik yang didalamnya ada obat yang tadi dia beli untuk nenek Haya langsung terjatuh karena tangan Anggi lemas seakan tidak kuat untuk membawa plastik kecil itu. Butiran kristal bening jatuh dari kedua kelopak mata indahnya dengan bebas membasahi kedua pipi mungilnya. Zara seakan tidak mampu menjalani hidupnya dan merasa masa depannya telah hilang. Zara segera menggerakkan tangannya yang memegang pecahan kaca untuk menyayat tangannya tepat di saraf nadinya untuk segera mengakhiri hidupnya. Namun, melihat tindakan temannya, anggi tersadar dari kesedihannya. Anggi segera mengambil paksa pecahan kaca itu dari tangan Zara. “Biarin aku mati Nggi, aku sudah nggak bisa ngejaga nenek Haya”, ucap Zara sambil menangis.  Namun Zara masih menolak untuk memberikan pecahan kacanya ke Anggi. Tidak ada yang menyangka, pecahan kaca itu telah menusuk perut Zara, gerakan tubuh Zara melemah dan terjatuh lemas karena perutnya telah terkena tusukan pecahan kaca yang tadi dia rebut dari rebutan Anggi. Melihat itu, Anggi menangis tidak percaya karena tindakannya sia-sia dan telah membuat sahabatnya berhenti bernafas. Melihat peristiwa di seberang, polisi berpikir bahwa Anggi  telah membunuh  Zara dengan sengaja. Tanpa berfikir panjang,
pulisi itu menembakkan peluru ke kaki Anggi. “Doorr!!”, suara tembakan terdengar menandakan sebuah peluru telah meluncur bebas akan mengenai sasarannya. Namun, sasaran itu melesat dan terkena tepat di kepala Anggi. Tubuh Anggi langsung terjatuh tepat di atas Zara yang telah berhenti bernafas. Anggi masih setengah tersadar, dia tersenyum. Gadis itu berfikir sebentar lagi dia akan menyusul keluarganya dan nenek Haya di Surga. Setelah itu kedua kelopak mata indahnya perlahan menutup untuk selamanya diiringi dengan sang raja siang yang perlahan mulai tenggelam karena sekarang adalah tugas putri malam untuk menyinari hari yang sudah akan gelap gulita agar terang dengan bantuan dari sinarnya.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Sorry kalau cerpennya kurang greget di hati para pengunjung blog.. hehehe.... ini cerpen admin ya buatnya waktu kelas 7 smp.. pengalaman pertama kali buat cerpen.. harap dimaklumi,.. gomenasai...!!! sorry kalau typo..

Leave a Reply

Keep Calm And Love Anime, Manga, Laptop, Wifi, Graffiti :v

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © 2013 MY BLOG - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -